Selasa, 28 April 2009

"Tanah Palestina Yang Makin Panas" oleh Pdt. DR. AA Yewangoe (Ketua PGI & Dosen STT Jakarta)

TANAH PALESTINA YANG MAKIN PANAS

Andreas A.Yewangoe[1]

Palestina makin panas dalam beberapa hari ini. Ketika artikel ini ditulis, jumlah orang yang mati akibat pemboman Israel telah mencapai 400 orang. Termasuk di dalamnya Nizar Rajan (49 tahun), seorang Guru Besar Hukum Islam dan satu dari lima pemimpin tertinggi Partai Hamas. Rumahnya di Jebalija dibombardir oleh pesawat pembom Israel. Mengenai Nizar ini, ia dikenal sebagai matarantai penghubung antara sayap militer dan sayap politik di dalam Partai Hamas. Pada tahun 2001 yang lalu ia merelakan seorang putranya menjadi bom bunuh diri. Pada waktu itu dua orang tentara Israel menjadi korban. Kita sangat menyesalkan bahwa kekerasan makin menjadi-jadi dengan korban begitu besar di tempat yang mestinya memancarkan cahaya perdamaian. Baru saja Natal dirayakan, dan tanpa Palestina di mana kota Betlehem terdapat di dalamnya sulit kita memahami makna perayaan itu. Kelihatannya dampak perayaan Natal hampir tidak terlihat di sini.

Sesungguhnya perseteruan Israel-Palestina (dan negara-negara Arab) telah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Kita semua telah memakluminya. Ia melibatkan berbagai hal, termasuk emosi keagamaan kendati sangat jelas bahwa ini bukanlah persoalan agama. Sekian banyak perundingan- perundingan telah dilakukan, dan sekian banyak pula persetujuan disepakati. Namun perdamaian sejati tidak kunjung tiba. Seakan-akan kita menghadapi benang kusut yang mustahil untuk diurai. Akan halnya pemboman mutakhir ini, oleh pihak Israel dimaknakan sebagai pembalasan terhadap roket-roket yang setiap hari ditembakkan ke Israel Selatan. Konon, dengan berakhirnya Perjanjian Gencatan Senjata beberapa waktu lalu, dan tidak adanya kesediaan untuk memperpanjangnya, maka sejak itulah sekian banyak roket ditembakkan. Lalu menyusullah saling tuduh-menuduh. Hamas berpendapat, memperpanjang gencatan senjata adalah sia-sia sebab selama ini Israel tidak pernah memperlunak pengepungannya atas Gaza. Sebaliknya dalam mata Israel, perpanjangan gencatan senjata justru akan dipakai Hamas memperkuat dirinya menyerang Israel. Repot memang. Kita tahu bahwa beberapa hari sebelum Israel memborbadir Gaza, Tzipi Livni Menlu Israel berkunjung ke Mesir atas undangan Presiden Husni Mubarak. Kita tidak tahu persis detail percakapan antara mereka. Belakangan kita tahu bahwa Presiden Mesir itu kecewa dengan Hamas yang katanya tidak mendukung percakapan-percakap an perdamaian yang diprakarsainya. Ketika Husni Mubarak dituduh tidak membuka pintu gerbang ke Mesir agar rakyat Gaza bisa menyeberang pada waktu Gaza dibombardir, demikian menurut BBC, ia membela diri dengan mengatakan, ia lebih mementingkan kepentingan nasionalnya. Menyiasati semua perkembangan- perkembangan ini, rasanya bagi kita yang mengamati dari jauh cukup sulit untuk mengetahui secara persis apa yang sedang terjadi.

Kenyataan ini diperparah lagi dengan tidak adanya kesatuan di antara Hamas dan Fattah. Sebagaimana sudah diketahui, kedua faksi itu mempunyai pendekatan berbeda terhadap persoalan dengan Israel. Fattah mendukung perundingan- perundingan damai yang selama ini berjalan. Bahkan terdapat indikasi bahwa faksi ini mendukung berdirinya negara Palestina merdeka di samping Israel. Hamas sebaliknya, tidak akan pernah mengakui eksistensi Israel. Itu berarti, juga tidak akan pernah ada perundingan yang sungguh-sungguh dengan negara Yahudi itu. Akar ideologis (dan mungkin juga agama) terkandung di dalam penolakan itu. Begitu rupanya sikap ini sehingga Presiden Mahmoud Abbas pun dituduh berkolaborasi dengan Israel, suatu tuduhan yang tidak main-main. Pemboman-pemboman yang terjadi sekarangpun, dalam mata Qais Abdul Karim, seorang anggota Legislative Council Palestina, justru makin memperlebar jurang di antara dua faksi tersebut. Ia mengatakan: "There is no unity in the national unity and no unity in the street. These attacks have increased the divisions. They should have done the opposite." (MSN, diakses 2 Januari 2009).

Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi apabila perang ini berlarut-larut. Pasti akan semakin banyak korban berjatuhan. Kita tidak menghendaki itu. Kita tidak menghendaki nyawa manusia begitu mudah dicabut untuk persoalan pelik macam itu. Kita mendesak agar negara-negara besar mengambil prakarsa yang lebih serius lagi dengan memaksa Israel menghentikan pembomannya. Pada pihak lain, kita juga mendorong agar Hamas tidak terus-menerus mengirim roket ke Israel, sehingga membenarkan tindakan Israel menyerang Gaza. Kendati mungkin ada emosi-emosi keagamaan tersangkut-paut di dalamnya, namun sangat perlu digaris bawahi bahwa apa yang terjadi di Tanah Palestina sekarang bukanlah persoalan agama. Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Mr. Fariz N.. Mehdawi, dalam perkunjungannya ke PGI tahun lalu, di hadapan tokoh-tokoh Kristen menegaskan, bahwa persoalan di Palestina adalah persoalan tanah, bukan agama. Ketika ada yang bertanya, apakah ia sependapat dengan Presiden Iran Ahmadinejad untuk menghapus Israel dari peta dunia, ia menegaskan, tidak. Biarlah Israel ada di sana, katanya. Tetapi berikanlah kepada kami (Palestina) apa yang menjadi hak kami. Tanah Air.

Ya, Tanah Air, itulah yang menjadi tuntutan bangsa Palestina. Maka sangat perlu ditepis salah faham yang juga ada di Indonesia, seakan-akan yang berhadapan di sana adalah Islam versus Yahudi yang didukung Kristen. Tidak demikian. Perlu disadari bahwa di kalangan bangsa Palestina terdapat banyak orang Kristen dengan jumlah yang signifikan. Para tokoh Palestina, seperti Hanan Asrawi adalah seorang Kristen. George Habbas adalah seorang Kristen. Almarhum Yaser Arafat bercita-cita mendirikan sebuah Negara Palestina merdeka di mana setiap orang, tanpa memandang agama yang dianutnya hidup di dalamnya dalam persamaan derajad. Dewan Gereja-gereja Sedunia (World Council of Churches), di mana banyak gereja-gereja di Indonesia menjadi anggotanya, sejak dulu sangat mendukung hak-hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Ketika pada tahun 2006 di Porto Alegre-Brazil diselenggarakan Sidang Raya WCC, secara khusus kaum muda Palestina yang terdiri dari Islam dan Kristen mendirikan stand Palestina di situ. Ke forum dunia itu mereka menyuarakan aspirasi dan perjuangan Palestina untuk memperoleh hak-hak mereka. Secara kebetulan pemuda-pemudi Palestina ini nginap satu hotel dengan delegasi Indonesia sehingga interaksi dengan mereka agak sering. Salah satu percakapan informal yang saya tidak lupakan adalah, para pemuda Kristen Palestina mendukung Hamas dalam Pemilihan Umum karena di mata mereka rezim yang berkuasa pada waktu itu sangat "corrupt."

Kita tidak ingin korban-korban terus berjatuhan di Tanah Palestina. Kita juga tidak mau rakyat dikorbankan bagi ambisi-ambisi politik dari pihak-pihak yang merasa berkuasa di sana. Semua itu harus diakhiri. Kita mendukung rakyat Palestina memperoleh hak-haknya: hak hidup, hak merdeka, hak menentukan nasib sendiri, hak untuk mendirikan negara. Pada pihak lain, kita juga minta supaya keamanan bangsa Israel juga dijamin. Biarlah anak-cucu Abraham hidup dalam damai-sejahtera!

Tidak ada komentar: